Senin, 02 Januari 2012

Komunikasi Allah dan Manusia.

Kisah yang sangat kontroversi dalam Kejadian 3 adalah kisah yang penuh perdebatan dan menimbulkan banyak pertanyaan sepanjang sejarah; tapi dalam kisah ini juga mengungkapkan keintiman dan komunikasi Allah dan manusia yang paling indah. Indikator komunikasi Allah dan manusia yang paling intim ialah petama, pengenalan dan pemahaman tentang diri masing-masing. Manusia mengenali Allah yang menghampirinya,
‘mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, berjalan dalam taman waktu hari sejuk’ (Kejadian 3:8). Bagaimana mungkin manusia dengan hanya mendengar bunyi langkah Tuhan Allah mampu memprediksi dan menafsirkan bahwa itu bunyi langkahnya Allah. Hal ini membuktikan manusia sudah mengenal dan memahaminya dengan baik, sebagai akibat dari hubungan yang akrab. Inilah ciri khas penulis Kejadian (dari sumber Yahwist) yang sifatnya antropomorfisme. Di pihak Allah ketika manusia bersembunyi terhadap Tuhan Allah diantara pohon-pohon dalam taman, Allah tahu alasan mengapa manusia bersembunyi, sehingga pertanyaan ‘dimanakah engkau?’ bukan hanya sekedar pertanyaan pencarian. Tetapi pertanyaan hakikat kemanusiaan yaitu keberdosaan manusia yang mengakibatkan mereka takut dan bersembunyi, dan Allah mengenal serta memahami hal itu. Menurut Walter Lemp pertanyaan Allah diajukan karena sepatutnya manusia sebagai penjaga taman Firdaus hadir untuk menyambut ketika Allah datang dan mengenakan baju kebesaran sebab Allah yang datang, bukannya dalam keadaan
telanjang.
Indikator kedua, pengertian tentang berita (message) dan isi berita (content). Ketika ular menjadi simbol dari iblis berdialog dengan Hawa, perempuan istri Adam ini memberi jawaban (Kejadian 3:2-3) persis seperti apa yang dipesankan Allah kepadanya (Kejadian 2:16-17). Hal ini membuktikan bahwa manusia mengerti isi beritanya dan menangkapnya dengan baik. Antara Allah dan manusia mempunyai simbol dan makna yang dipahami bersama. Maka ketika buah yang dilarang itu dimakan tidak ada alasan bahwa manusia tidak mengerti atau tidak menangkap maksud Tuhan Allah. Bukan salah tafsir tapi kesadaran untuk tergoda oleh bujukan iblis.
Dapat dipahami bahwa rusaknya komunikasi disebabkan karena manusia sendiri secara sadar melakukan hal yang tidak sesuai dengan pengertian yang sebenarnya, baik dari segi berita atau isi berita. Jika di antara manusia sudah memiliki kesepahaman simbol dan makna (apalagi dalam hubungan keluarga khususnya suami istri) maka sebenarnya kesalahan tafsir adalah kecil. Mereka juga memiliki pengenalan dan pemahaman yang membuat mereka dapat akrab bahkan begitu intim satu dengan lain. Komunikasi non verbal melalui isyarat atau bahasa wajah pun dapat dikenai dengan baik.
Dalam kisah menara Babel (Kejadian 11:1-9) sekali lagi Allah menunjukkan kepada manusia bahwa manusia patut mengerti makna pentingnya komunikasi bagi diri mereka. Bahasa sebagai alat komunikasi penting dalam hidup manusia harus digunakan dengan tujuan yang benar. Manusia yang memiliki organ komunikasi paling komplit dan memiliki makna (content) berita yang kompleks dengan makna denotative dan konotatif. Ternyata justru memakainya untuk tujuan ‘kemahsyuran’ diri dalam
konteks lokalitas sempit dan eksklusif. Inilah bentuk perwujudan dari ego-sentris yang merusak komunikasi.
Jadi sebenarnya bahasa harus dipakai untuk tujuan persatuan dan kesatuan, dimanapun mereka berada (dalam keterserakan) sebab sebagai manusia mereka memiliki potensi untuk memaknai hidup ini. Sebaliknya manusia justru senang mempermainkan bahasa untuk jargon dan bersifat esoteric, yang dalam bentuk sangat sederhananya yaitu bahasa ‘eksklusif’. Penyempitan makna karena ego-sentris inilah yang menyebabkan komunikasi dalam keluarga juga menjadi terganggu. Anggota keluarga enggan memahami orang lain dan berpijak pada pengalaman, pengertian, dan tafsirannya
sendiri. Sehingga ketika terjadi perpecahan, Tuhan Allah yang disalahkan karena ‘menciptakan’ berbagai bahasa. ‘Bahasa’ Allah dimengerti oleh manusia sebenarnya, tapi manusia telah dikuasai ego-sentris akibat dosa, sebab yang terjadi sebenarnya manusia ‘menambah’ makna konotatif [ada pengertian denotatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar