Jumat, 21 Oktober 2011

Peranan Komunikasi dalam Keluarga untuk Pembentukan Sikap Sosial Siswa

Salah satu ciri penting pendidikan humanistik adalah adanya komunikasi yang efektif antara pendidik dengan siswa. Komunikasi merupakan faktor penting dalam interaksi, karena komunikasi menyebabkan adanya saling pengertian antar orang yang berkomunikasi. Kalau di dalam komunikasi mampu menumbuhkan saling pengertian maka relasi itu akan amat produktif dan efektif.
Menurut Balson (1999:218), komunikasi yang efektif apabila orang yang mengungkapkan keprihatinan dan problem tahu bahwa pendengarnya memahami pesan yang sedang disampaikan. Dalam kasus orang tua yang menilai bahwa anak-anak mereka mempunyai problem khusus tersendiri, orang tua akan sangat terbentu untuk berkomunikasi dengan anak yang sudah diakui dan dipamahi perasaannya.
Komunikasi antara orang tua (suami dan istri) pada dasarnya harus terbuka. Hal tersebut karena suami-istri telah merupakan suatu kesatuan. Komunikasi yang terbuka diharapkan dapat menghindari kesalahpamahan. Dalam batas-batas tertentu sifat keterbukaan dalam komunikasi juga dilaksanakan dengan anak-anak, yaitu apabila anak-anak telah dapat berpikir secara baik, anak telah dapat mempertimbangkan secara baik mengenai hal-hal yang dihadapinya. Dengan demikian akan menimbulkan saling pengertian di antara seluruh anggota keluarga, dan dengan demikian akan terbina dan tercipta tanggung jawab sebagai anggota keluarga.
Selanjutnya dijelaskan oleh Riyanto (2002:34), hal yang sangat penting dalam suatu komunikasi adalah kemampuan mendengarkan, yaitu mendengarkan dengan penuh simpati. Mendengarkan dengan penduh simpati ditandai dengan:
a. Peka akan perasaan yang menyertai pesan yang disampaikan;
b. Mendengarkan dengan penuh perhatian;
c. Tidak menyela pembicaraan atau memberikan komentar ditengah-tengah;
d. Menaruh perhatian pada “dunia” pembicara;
e. Sendiri tidak penting, yang penting adalah pembicara.
Seorang pendengar yang baik akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Pendengar yang baik akan mendengarkan orang lain dengan penuh hormat dan penghargaan. Ia mampu menangkap apa yang tidak terungkap dengan kata-kata, tetapi sebenarnya ingin dikatakan oleh si pembicara. Ia juga mampu mengamati dan mencermati bagaimana si pembicara mengungkapkan perasaan yang ditandai dengan berubah-ubahnya nada dan volume suara. Pendengar yang baik adalah pendengar yang aktif dan kreatif.
Berikut ini adalah tahap-tahap pendengar yang aktif:
a. Mendengarkan saja tanpa komentar atau menyela pembicaraan;
b. Mencoba memberikan umpan balik secara tepat;
c. Memcoba memperjelas, menghargai dan menghormati, menegaskan, memberikan tambahan informasi;
d. Menanyakan rencana langkah berikutnya.
Komunikasi yang efektif, sedak-tidaknya meliputi tiga hal berikut:
1) Pengirim pesan atau pembicara
2) Penerima atau pendengar
3) Pesan yang dimengerti atau diterima dengan tepat
Menurut Walgito (2004:205) di samping keterbukaan dalam komunikasi, komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Dengan komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga dengan demikian akan tercipta komunikasi hidup, komunikasi yang dinamis,. Dengan komunikasi duah arah, masing-masinng pihak akan aktif, dan masing-masing pihak akan dapat memberikan pendapatnya mengenai masalah yang dikomunikasikan.
Dalam komunikasi akan lebih efektif apabila tercapai saling pemahaman, yaitu pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh penerima. Secara umum proses komunikasi sekurang-kurangnya mengandung lima unsur yaitu pemberi, pesan, media, penerima, dan umpan balik.
Masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan antar manusia seberarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan adanya miskomunikasi. Ketika berkomunikasi seringkali terjadi kesalahan, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Kesalahan-kesalahan dalam komunikasi pada umumnya disebabkan dua hal: 1) Terbatasnya perbendaharaan kata atau sistem simbol. Seringkali apa yang kita pikirkan atau rasakan tidak dapat kita ungkapkan dengan sempurna, karen atidak ada simbol atau kata yang tepat. Hal ini masih dapat diatasi dengan mengulang atau memperbaiki kalimat itu berulang-ulang, sampai si penerima mengerti betul maksud pengirim berita, tetapi sering juga terjadi bahwa kesempatan untuk mengulang-ulang berita ini tidak ada (misalnya dalam surat-menyurat) sehingga kesalahan komunikasi tetap saja terjadi. 2) Terbatasnya daya ingat. Hal-hal yang kita lihat, pikirkan atau rasakan, makin lama makin kabur dalam ingatan kita. Karena itu kalau hal-hal itu baru akan dikomunikasikan setelah lewat beberapa saat yang cukup lama dari saat terjadinya atau terpikirnya atau terasanya hal tersebut, maka penggambaran kita sudah tidak sempurna lagi.
Sehubungan dengan lemahnya daya ingatan di atas, dapat terjadi kabar angin atau desas desus. Kabar angin biasanya bermula dari keinginan orang untuk mendapat informasi mengenai suatu hal, tetapi saluran komunikasi dengan sumber berita tertutup oleh karena satu dan lain hal. Akibatnya orang mencari hubungan yang tidak langsung, yaitu mencari informasi dari tangan kedua, atau ketiga, atau bahkan dari tangan yang kesekian puluh. Akibatnya, orang tersebut mendapatkan berita yang sudah tidak orisinil lagi, sudah banyak berkurang atau bertambah sesuai dengan macam-macam selera orang-orang yang meneruskan kabar angin tersebut, sehingga berita yang sudah sampai sudah jauh berbeda dengan aslinya. Orang yang menerima berita ini, kalau ia harus meneruskan lagi berita itu, akan juga menambah atau mengurangi sesuai dengan minatnya sendiri. Dapat dibayangkan bahwa makin jauh dari sumbernya, kabar angin ini akan makin rusak dan makin berbeda dengan aslinya. Akibat dri kabar angin terutama bagi anak-anak yang tersangkut di dalamnya biasanya kurang menyenangkan. Karena itu perlu diusahakan agar tidak banyak kabar angin yang sempat beredar.
Untuk itu perlu diusahakan agar komunikasi terutama di dalam keluarga perlu sesering mungkin, dan dibiasakan agar keluarga selalu memberikan berita-berita yang benar sehingga terjalin komunikasi yang baik antar masing-masing anggota di dalam keluarga. Dengan demikian di dalam diri anak akan terbiasa dengan berkomunikasi baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial.
Menurut Suhendi (2001:102), “Dengan adanya komunikasi manusia yang tadinya tidak tahu apa-apa, kemudian belajar memahami nilai yang ada dalam kelompoknya.” Untuk menjadi anggota dapat diterima di lingkungan kelompoknya, seseorang memerlukan suatu kemampuan untuk menilai objektif perilaku sendiri dalam pandangan orang lain. Apabila sudah sampai pada tingkat tersebut, seseorang sudah memiliki apa yang disebut self (diri). Self terbentuk dan berkembang melalui proses sosialisasi dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Salah satu tanda orang yang sudah memiliki self ialah mereka yang sudah terbiasa bertindak sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek.
Terjadinya proses sosialisasi pada seorang siswa dilakukan setelah dalam dirinya terbentuk self yang diawali dari dalam keluarga, cara orang tua mengekpresikan dirinya, kemudian cara tersebut diidentifikasikan dan diinternalisasikan menjadi peran dan sikapnya, dan akhirnya terbentuklah selfsiswa.
Beradasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa komunikasi dalam keluarga berperanan dalam pembentukan sikap siswa. Hal ini dapat terjadi memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Bersifat keterbukaan
2) Dilakukan secara kontinyu/terus menerus
3) Mengkomunikan sesuatu hal/berita yang benar
4) Komunikasi dilakukan dua arah
5) Dilakukan dengan ramah dan hormat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar